Selasa, 15 Juli 2014

Janji Burung Pipit: Sayap

"bagaimana kalau suatu saat kelak kita membangun rumah sakit kita sendiri?". Pernyataan Aan tiba tiba memecahkan suasana.
"ha? Rumah Sakit??" Ega mencoba mencerna kata kata Aan barusan.
"iya, suatu saat ketika aku sudah ahli di bidang farmasi, Anggi berhasil dengan karir keperawatan nya, dan chynthia juga telah menjadi bidan yang ahli, saat itu kita buat rumah sakit kita sendiri dengan kamu sebagai dokternya, seperti janji kita dulu" Aan mencoba menjelaskan.
"ohh, janji untuk burung pipit yang kalian tolong waktu kalian masih kecil itu" tambah Chynthia.
"tapi apakah aku bisa jadi dokter dengan kondisi ekonomi keluargaku yang sekarang?" muka Ega kembali murung.
"tenang.. kan masih ada jalur undangan dari universitas". Pernyataan Anggi membuat suasana kembali mencair. dan mereka kembali dengan pelajaran mereka ketika bel masuk tiba tiba berbunyi.
....

Ada kalanya ketika kedua kaki kita ini hanyalah sampah saat mereka tak bisa digunakan untuk melangkah. Saat kita telah berusaha tapi takdir memaksa kita untuk menyerah. Ketika itu kita mecoba terbang dengan sayap sayap yang mulai tumbuh tapi badai dasyat tiba tiba datang dan kita hanya mengurungkan niat.


Ega terduduk di sebuah hall yang sangat besar. Di sekelilingnya, teman-temannya sedang ribut sendiri dengan candaan mereka masing masing, sebagian lagi memperhatikan moderator yang sedang membacakan susunan acara di atas mimbar. Tampak jelas kebahagiaan dari raut wajah mereka yang sangat kontras sekali dengan raut wajah Ega yang tak menentu.

Pikiran Ega kembali melayang. Mengaburkan suasana sekitar menjadi kabut kabut tebal, dan membawanya ketempat dimana semuanya mulai berubah.

Pagi itu Ega menyusuri trotoar layaknya seekor keledai yang kegirangan. Dia menyapa setiap orang yang dia kenal sambil mengumbar senyuman. Hari itu merupakan hari istimewa bagi Ega, karena hari itu adalah hari pertamanya mengikuti Ujian Nasional. Sebuah hari yang menurut sebagian orang adalah momok, karena dihari itu masa depannya akan ditentukan. Tetapi entah mengapa pada saat itu Ega sangat percaya diri dengan kemampuannya. Mungkin karena menurutnya dia telah menguasai semua materi yang akan keluar, atau karena dia yakin bahwa rasa percaya dirinya itu akan menjadi modalnya untuk menghadapi Ujian Nasional.

Di ujung trotoar Ega melihat seorang kakek tua sedang memandangi jalan sambil tersenyum. Akhir akhir ini Ega memang sering melihat kakek itu duduk-duduk di pinggir trotoar, tapi Ega tidak pernah mempedulikannya. Ketika Ega sedang melangkah tepat di belakangnya, tiba tiba si kakek berkata “berhati-hatilah dengan langkahmu nak.”

Sontak, Ega pun kaget dan menghentikan langkahnya. Dia terheran heran dengan perkataan si kakek “kakek bicara dengan saya?”

Sang kakek pun melanjutkan, “aku telah melihat banyak sekali kejadian di jalanan. Ada beberapa alasan mengapa mobil-mobil itu tiba-tiba berhenti di jalan. Pertama karena lampu merah itu” si kakek menunjuk traffic light di persimpangan jalan, “Kedua karena mogok atau kehabisan bahan bakar, dan yang terahir karena menabrak seseorang” sang kakek pun terkekeh-kekeh sambil terus memandangi jalanan.

Ega kemudian berlalu tanpa menghiraukan si kakek dan melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Dia hanya berfikir mungkin kakek tadi orang gila.
....


Bel sekolah akhirnya berbunyi nyaring, tanda ujian telah selesai. Hari ini adalah hari terahir Ujian Nasional, hari dimana banyak diwarnai berbagai macam curahan perasaan. Di ujung lorong banyak siswi yang menangis, sedangkan di sisi lain anak anak yang ikut bimbingan belajar merasa tenang-tenang saja, seolah mereka baru menyelesaikan soal yang begitu mudah.

Ega hanya tertunduk lesu menelusuri trotoar menuju ke rumah. Kepercayaan dirinya kian hari kian berkurang. Entah kenapa soal Ujian Nasional tahun ini sangat sulit, berbeda sekali dengan soal soal tahun sebelumnya.

Di suatu toko, Ega tak sengaja melihat siaran di televisi. Dia menyaksikan Menteri Pendidikan yang sedang di wawancarai perihal Ujian Nasional tahun ini yang ternyata melenceng dari standar materi yang disiapkan oleh setiap sekolah. Sang Menteri pun dengan santai mengatakan “sebenarnya ujian tahun ini adalah ujian bertaraf internasional, saya kira bagi siapa saja yang belajar dengan giat bisa menyelesaikannya dengan mudah.”

Ega pun tercengang mendengar pernyataan dari bapak menteri. Ingin rasanya dia menghampiri bapak Menteri dan memaki maki di depanya. Tapi dia hanya mengurungkan niat dan pasrah akan apa yang telah dia usahakan.

Sebulan kemudian saat pengumuman kelulusan, semua siswa berteriak mengekspresikan kegembiraan mereka. Pada hari itu tak ada yang tak merasa bahagia karena kelulusan mereka semua. Tetapi entah kenapa Ega hanya terduduk lemas memandangi nilai Ujian Nasionalnya yang baginya dirasa kurang memuaskan. Sedangkan teman sekelas yang menurutnya biasa biasa saja, entah kenapa nilainya bisa bagus. Dan menurut kabar angin, mereka yang mampu membeli soal dari salah seorang oknum lah yang mendapat nilai bagus. Entah benar apa tidak Ega hanya pasrah menerimanya.

Hal ini berlanjut pada seminggu kemudian, saat pengumuman jalur undangan dan beasiswa BIDIKMISI. Tenggorokannya tercekat seketika tak bisa bernafas ketika melihat namanya tak lolos jalur undangan.
....


Berbagai emosi sekaligus penyesalan mengiringi langkahnya pulang. Menurutnya dunia ini hanya tak adil kepadanya. Hanya mereka yang memiliki uang lah yang bisa berkuasa di dunia ini. Terkadang Ega iri kepada burung burung yang selalu bisa terbang bebas di angkasa tanpa adanya beban sama sekali.

Di ujung trotoar seperti biasa Ega melewati kakek gila yang selalu tersenyum memandangi jalanan. Setelah sekian lama kali ini si kakek gila itu membuka mulutnya dan kembali berceloteh, “akhir akhir ini aku menemukan cara agar tidak tertabrak mobil yang lewat” si kakek berhenti sejenak lalu melanjutkan tanpa memalingkan tatapan kepada Ega, “mobil mobil itu tidak akan menabrak benda yang berada diatasnya. Mengapa kau tidak coba tumbuhkan sayapmu dan tebang diatas mobil mobil itu?”

Ega berkata dalam benaknya benar-benar gila nih kakek, Entah kenapa Ega mulai tidak suka dengan celotahan si kakek gila itu. Lagi-lagi Ega pun tidak memedulikannya dan berlalu begitu saja.

Sesampainya di rumah, Ega bertemu dengan Adam, kakaknya, “udah pulang kerja kak?”

“iya ga, tadi kerjaan kakak udah kelar” kata Adam sambil mengaduk minuman dicangkirnya “oh iya, gimana pengumumannya?"

Ega pun bingung akan menjawab apa. Dengan terpaksa dia mengungkapkan yang sejujurnya “tidak lolos kak”

Suasana rumah pun menjadi hening. Tidak lama kemudian Eva istri Adam muncul dari dapur menggendong Nana anak mereka yang masih bayi yang juga keponakan Ega, “sabar ga, kamu anak yang pintar. mungkin itu belum rejekinya kamu”
Ega hanya tersenyum sekilas sebelum akhirnya dia menuju ke kamarnya.
....


Malam harinya Ega merasa gelisah. Dia masih tak percaya dengan apa yang terjadi akhir akhir ini. Dunianya yang telah membuatnya kuat, kini telah runtuh oleh serangan takdir yang bertubi tubi. Tak ada harapan lagi untukku. Apa aku harus menyerah? Tidak, ini duniaku. Ini masa depan ku. Siapa lagi yang akan menentukan kalau bukan aku, Ega mencoba menenangkan diri. Aku harus ikut SBMPTN kalau perlu Ujian Mandiri. ya aku harus.

Ega pun memberanikan diri berbicara dengan Adam perihal niatnya mengikuti SBMPTN. “aku tau ga kamu sangat ingin masuk kedokteran, tapi kan kamu juga tahu gaji kakak gak seberapa” jelas Adam.

“kakak kan punya tabungan yang dulu mau kakak gunakan buat memberangkatkan ibu ke mekah” protes Ega.

“iya, tapi sekarang itu untuk kebutuhan kita sehari hari. lagian kamu kan masih bisa pilih prodi lain selain kedokteran. kamu tahu sendiri kuliah di kedokteran tuh gak murah ga” Adam mencoba meyakinkan Ega.

“kalau soal uang, nanti Ega ganti kalau udah sukses kak. sekarang tugas kakak cuma ngebiayain kuliah ega kan?” Keegoisan Ega mulai muncul.

“memangnya kamu tidak butuh makan, beli baju, sama kebutuhan lain..” Adam masih mencoba meyakinkan Ega ketika pembicaraannya dipotong.

“kalau soal makan dan baju, Ega bisa cari sendiri kak!”.

“kamu juga gak inget apa kalau aku juga punya istri dan anak yang masih kecil, jangan egois gitu dong jadi anak!” bentak Adam mulai terpancing emosi.

“kakak ini tidak seperti ibu. kalau saja ibu masih ada, pasti dia akan berusaha sekuat tenaga supaya aku bisa masuk kedokteran!”
“jaga mulutmu!!” Adam bersiap memukul Ega.

“Apa?! pukul kak. pukul aku!!”

“sstt, sudah sudah!” tiba tiba Eva muncul dari kamarnya sambil menggendong Nana yang sedang menangis, “lihat nih Nana jadi menangis gara gara kalian” sambil menepuk-nepuk punggung putrinya agar berhenti menangis.

Ega terkejut melihat Eva, kemudian memandangi Adam dengan tatapan tajam sebelum akhirnya pergi dari rumah tanpa sepatah kata pun.
....


Malam itu hujan turun cukup deras. Ega memilih berteduh di sebuah halte bus di pinggir trotoar. Emosinya yang masih meluap luap membuat pikirannya kembali keruh. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang telah terjadi, mengingat dia sebelumnya belum pernah bertengkar bergitu hebat dengan kakak kandung yang paling dia sayangi itu.

“seperti biasa, kau selalu saja manghindari mobil mobil itu”

Ega sontak terkejut mendengar suara yang tiba tiba muncul. Dia mencari cari darimana asal suara itu sampai akhirnya dia mendapati seseorang yang dikenalnya sebagai si kakek gila sedang duduk disampingnya.

“kenapa kau tak menuruti kata kata ku, mengapa kau tidak mencoba terbang? apakah karena takut akan hujan?”, kata si kakek sambil terus memandangi jalanan tanpa mengalihkan pandangan ke arah Ega.

“kakek ini ngomong apa sih. kenapa kakek disini?”, Ega mulai kesal pada si kakek.

“kau masih muda nak, banyak yang harus kau pelajari” sahut si kakek.

“aku telah banyak belajar di sekolah, tapi apa yang ku dapatkan sekarang? hanya kegagalan yang selalu kudapat! dan kau masih menyuruhku untuk belajar?!” protes Ega.

“ini bukan soal ilmu pasti yang kau dapatkan dari sekolah, tapi ini soal kehidupan”. Ega hanya terdiam, malas berdebat dengan si kakek. “mobil dan para pejalan kaki itu memiliki jalan mereka masing masing” sang kakek menunjuk ke arah pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan. “Saat seorang pejalan kaki ingin ke seberang, dia harus menyebrangi mobil mobil itu” dengan semangat sang kakek menjelaskan. “Ada dua pilihan untuk si pejalan kaki agar sampai ke seberang, yaitu mencari tempat penyebrangan atau menghindari mobil mobil yang lewat".

“maksud kakek?” Ega mulai penasaran.
“mobil yang berlalu lalang itu diibaratkan sebuah masalah yang tak pernah kita ketahui kapan berakhirnya. Sangat tidak mungkin menunggu masalah masalah itu habis. Yang bisa kita lakukan adalah menghindarinya atau mencari jalan keluarnya”.

“terus kenapa aku harus terbang?” tanya Ega.

“dengan terbang bukanya lebih mudah untuk menemukan jalan keluar”, kata si kakek tertawa geli,  “belajar terbang artinya kita mempelajari masalah tersebut. Saat kita telah menguasainya, otomatis level kita berada satu tinggkat diatasnya. Jika suatu saat mobil mobil itu lewat lagi, kita tinggal terbang diatasnya”.

“terus bagaimana dengan hujan yang tadi kakek bilang?”.

Sang kakek menoleh ke arah Ega sambil tersenyum, “kalau kau sudah belajar banyak, pasti kau akan mengetahui bahwa hujan tidak akan turun di atas awan”.

Ega sangat terkejut dengan tatapan hangat si kakek. Kemudian dia mencoba bertanya lagi, “tapi, bukankah jika kita bisa terbang sampai di atas awan kita malah akan terkena panasnya terik matahari ya kek?”.

“sebenarnya terbang melampaui matahari sekalipun, kita akan mendapati diri kita kehabisan nafas. Masalah akan terus ada ketika kita masih hidup didunia, tapi apakah kita hanya menyerah pada takdir? mengapa kita tidak menghadapinya dengan pikiran positif, mencoba mempelajari setiap masalah yang ada, dan menaikan level kita satu tingkat diatasnya?” sang kakek menghela nafas “dan bukankah akan lebih mengasyikan jika kita telah berada di atas matahari, kemudian sesekali kembali ke daratan dan menceritakan apa yang terjadi di atas sana kepada setiap orang?” sekali lagi kakek itu tersenyum kepada Ega.

Ega pun ikut tersenyum “terima kasih kek, mulai saat ini aku akan mencoba belajar terbang melewati mobil mobil itu”.

Malam makin larut saat hujan kembali reda. Si kakek misterius itu pun terlelap. Ega mau tak mau juga tidur di halte bersama si kakek.
....


Pagi itu Ega dibangunkan oleh suara bising kendaraan yang mulai memadati jalan. Matahari baru saja menampakkan dirinya dari cakrawala timur saat Ega mencoba mengenali sekitar. Kepalanya terasa pusing, mungkin karena tidur tanpa memakai bantal. Dia mencoba mengingat apa yang telah terjadi, hingga akhirnya dia ingat pada si kakek misterius. Dia menoleh kearah tempat si kakek tidur semalam, ternyata sudah tidak ada. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang kerumah dan mencoba meminta maaf kepada kakaknya.

Dalam perjalanannya pulang, Ega melihat si kakek misterius mondar mandir di tepi jalan. Tanpa ragu Ega kemudian memanggilnya, tapi si kakek tidak mendengar suaranya. Si kakek berhenti sejenak berdiri mengamati jalanan, kemudian dia berjalan ke tengah jalan. Dari arah kanan, datang sebuah truck berkecepatan tinggi menabrak sang kakek. Ega yang menyaksikan langsung kejadian itu sontak berlari menghampiri si kakek yang sudah berlumuran darah. Ega pun tak kuasa menahan emosi yang berkecamuk didalam dirinya ketika mengingat sang kakek nampak tersenyum kearahnya sesaat sebelum kecelakaan itu menimpanya. Tak lama kemudian mobil Ambulan datang. Ega pun turut menyertai sang kakek ke rumah sakit.

Di ruang tunggu ICU, Ega memikirkan berbagai macam ingatan dan memori tentang si kakek, tentang bagaimana pertama kali mereka bertemu, kebiasaan si kakek yang selalu memandangi jalanan, hingga pesan terahir sang kakek.

Lamunan Ega kemudian pecah ketika dia melihat kakaknya, Adam bersama istri dan putrinya yang masih bayi datang menghampirinya. Ega pun menyambut kakanya dengan pelukan haru.

“kamu gak kenapa-kenapa kan ga?” tanya Adam

“gak kenapa-kenapa kok kak.”

Ekspresi Ega kembali menegang ketika dokter keluar dari ruang ICU. “kami butuh darah AB rhesus negatif segera!”

“saya pak, saya AB rhesus negatif.” Ega langsung mengajukan diri.

“oke, saya tunggu di dalam.” sang dokter kembali masuk ke dalam ruang ICU.

Sebelum sempat Ega melangkah ke dalam, Adam meraih ke lengan adiknya “Apa kamu tidak apa apa? kamu kan belum makan dari kemarin?” tampak kekhawatiran dalam raut wajah Adam.

“gak apa-apa kak, Ega masih kuat kok.” Dia pun menuju ke dalam menyusul sang dokter.
....


Tiga hari setelah kejadian itu, tiba tiba ada yang mengetuk pintu rumah Ega. Dia yang sedang dirumah sendiri membukakan pintu. Nampaklah seorang bapak berbadan tegap dan tinggi dengan sedikit kumis diatas bibirnya. Dia memakai kemeja warna hijau toska dan berdiri di depan pintu.

“Terimakasih telah menyelamatkan nyawa ayah saya,” kata bapak tersebut sambil menjabat tangan Ega.

Ega terheran-heran dengan orang asing itu, “Bapak ini siapa?”

“oh iya, perkenalkan nama saya dokter Michel Wijoyo, seorang dokter sekaligus rektor salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di Jakarta.”
....
“Ananda Ega Saputra dipersilahkan memberikan sambutan mewakili para siswa.”

Seketika Ega kembali dari lamunannya ketika mendengar tepuk tangan dari teman temannya, “ha? ada apa ini?”

“kamu habis ngelamun ya? pasti ngelamunin yang jorok-jorok. di suruh sambutan tuh,” ejek Aan yang duduk di sebelahnya.

"hah? serius nih?"

"udah, cepetan sana", Aan langsung mendorng Ega menuju mimbar.

Ega berdiri di atas mimbar, memandangi teman teman serta guru dan para orangtua siswa. “assalamua'aikum...” dengan suara bergetar, dia tidak tahu akan memberi sambutan seperti apa. “puji syukur kehadirat Allah subhanahu wata'ala, yang telah menurunkan rahmat yang melimpah bagi saya dan para hadirin sekalian. Berkat Dia-lah saya bisa berdiri disini dengan almamater kebanggaan kita semua ini. Dia juga lah yang selalu menuntun kita saat kita dalam kegelapan, terjerat hawa nafsu dan emosi, dan ketika kita tidak tahu lagi harus melangkah,” Ega menghela nafas. ”untuk guru-guru kami tercinta, terimakasih atas ilmu berharga yang setiap hari engkau berikan. Engkau rela menempuh jarak menembus badai dan halilintar demi membawakan secuil oleh-oleh manis yang tak pernah kau tahu bahwa itu sangat berarti besar bagi kami. Kini sayap sayap kami semua telah tumbuh. Untuk itu lepaslah kami, lepaslah kami ke angkasa nun luas agar kami kelak akan menaklukkan dunia,” Ega kembali mencoba menyusun kata kata. “tak lupa untuk teman-temanku sekalian. Terimakasih karena telah memberikan warna warna pada kanvas kehidupan ini, yang akan ku letakkan pada sebuah musium abadi hingga suatu saat ajal menghampiri. Jika suatu saat nanti kita berjumpa, akan kuperlihatkan bahwa kalianlah yang selalu mendatangkan pelangi ketika hujan mulai lelah berjatuhan.” kepercayaan dirinya mulai muncul, “satu pesan dari orang yang selalu menjadi inspirasi bagi saya, ‘Meskipun kita telah terbang hingga menembus langit, janganlah enggan untuk kembali turun ke daratan, dan ceritakan apa yang telah kau lihat di atas sana’.”

Tepuk tangan para hadirin membuatnya bangga terhadap dirinya sendiri. Di ujung bangku tempat para orang tua, Ega melihat Adam tersenyum haru melihat kearahnya sambil bertepuk tangan. Tanpa sadar Ega pun meneteskan air matanya. Belum pernah dia sebahagia ini dalam hidupnya.
....


Acara perpisahan pun selesai. Ega keluar dari hall untuk menikmati udara sejuk. Dunia akan berubah mulai hari ini, pikirnya. Ega merasa dirinya sudah mulai dewasa, dan banyak pelajaran yang telah dia dapatkan. Ketidak-adilan hidup ini telah membuatnya sadar bahwa masih ada Tuhan yang selalu menjamin segala urusan hidupnya. Ega teringat sebuah kutipan novel yang pernah ia pinjam dari perpustakaan, “jika ada sebuah masalah besar, kita harus bilang kepada si masalah besar ‘hai masalah besar, aku punya tuhan yang lebih besar’.”
Apa yang akan terjadi pada masa depannya ditentukan oleh dirinya sendiri. Ya, kalau bukan diri kita terus siapa lagi?

“kamu beneran mau kuliah di jakarta ga?” suara Anggi tiba tiba mengagetkan Ega.

Ega mengangguk sambil tersenyum.

“ciee yang dapet beasiswa di Jakarta,” sindir Aan, membuat Ega jengkel.

“apaan sih lo.”

“ciee pisah-pisah dong kita,” kata Cynthia ikut nimbrung. “tapi gak apa-apa, yang penting cita-cita kita semua tercapai. Janji ya??”

“ok, aku akan berusaha keras!” Ega kembali bersemngat.

sok-sokan lo.” kata Aan sambil memukul kepala Ega.

Hari kembali berlanjut dibawah mentari yang masih sama. Ega melihat burung Pipit yang tadi berada di atas pintu gerbang kembali terbang menuju angkasa. Ega tersenyum melihatnya. Betapa Ega iri terhadap mereka yang bisa terbang bebas diatas segala masalah yang berada dibawah sini. Tuhan, berilah aku kekuaatan untuk menumbuhkan sayap-sayapku agar aku bisa terbang bebas meperti mereka.
~~(fin)~~


Note: Saya pribadi turut berduka cita atas musibah yang menimpa saudara kita di Gaza, palestine. Pas liat berita di tipi, ane berasa liat the raid: berandal, mayat dimana mana. Tega banget ya israel ckck. oiya, saya segenap jiwa dan raga juga mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa 1435 Hijriyah. Juga selamat deg degan aja buat temen temen yang nunggu pengumuman SBMPTN, moga aja bisa menginspirasi. Dan makasih lho udah baca sampai akhir (atau cuma baca akhirnya tok?)

immage source: http://bintangberkisah.files.wordpress.com/2012/09/animasi-burung-bird-animation-211.gif

1 komentar: