Minggu, 02 Februari 2014

Janji Pada Burung Pipit

Mimpi.. Sebenarnya apa sih mimpi itu, seberapa hebatkah mimpi, hingga banyak orang mengatakan bahwa "mimpi merupakan awal untuk mengubah dunia".

  
Namaku Ega Saputra, anak seorang petani padi di ujung sebuah desa. Tinggal bersama ibu dan seorang kakak kandung bernama Adam yang usianya terpaut 15 tahun dari usiaku. Terkadang Aku lebih menganggap Adam sebagai seorang ayah dari pada kakak sendiri. Ayahku meninggal saat usiaku masih 5 tahun karena serangan jantung. Dan sejak saat itulah Aku selalu bermimpi dan mencita-citakan untuk menjadi seorang dokter, sehingga tidak ada lagi orang yang dia sayangi pergi dari hidupnya.

Aku beruntung karena Ibu bisa menyekolahkan ku sejak dini, meski kakakku harus mengorbankan masa depannya demi aku dan ibu. Kakak adalah lulusan SMA dan tidak berniat untuk melanjutkan kuliah demi membantu ibuku menutupi kekurangan yang ditinggalkan oleh ayah. ibu dan kakak bekerja mati matian memanen padi demi sekolahku. Ibuku selalu tahu bahwa aku sangat mencita citakan untuk menjadi seorang dokter.

Suatu hari disekolah, Bu Anjar, guruku di TK Aisyiah bertanya kepada murid muridnya tentang apa cita citanya. 

"anak anak.." dengan nada ceria. 
"iya bu?" serempak menjawab.
"siapa diantara kalian yang ingin menjadi dokter..?" Sekolah yang hanya memiliki 13an murid itu tiba tiba ramai dipenuhi suara anak anak yang saling tunjuk. 

Tanpa ragu aku berdiri dan mengankat tangan, "saya bu!". 

Bu Anjar menatap ke arahku dengan kedua matanya yang sipit dibalik kacamatanya yang tebal, kemudian tersenyum kepadaku "bagus Ega, pertahankan cita citamu, kelak kau akan menggapainya". 

Aku pun hanya tersipu. Kemudian melihat ke sekelilingku, diujung depan berjarak dua kursi dari pintu keluar tampak Anggi, gadis manis bermata sipit yang selalu aku kagumi sejak pertama aku masuk TK, dan berjarak satu meja di belakangnya Aan anak berambut poni berbadan besar yang juga ikut berdidiri dan mengangkat tangannya.

Entah apa yang membuat kami cepat akrab, sejak saat itu kami bertiga mulai sering bermain bersama. Kami selalu menghabisakan waktu dengan bermain dokter dokteran dengan ranting pohon dan sendok makan yang kami bawa buat makan bekal dari rumah. Tekadang teman kami si Ande, anak berambut ikal berbadan kurus juga ikut menemani. Waktu itu adalah saat saat yang paling menyenakngkan dalam hidup kami.

Sore itu langit terlihat lebih indah dari biasanya. Kami berempat yang mulai beranjak remaja sedang berjalan pulang menyusuri sawah di ujung desa. Tanpa sengaja kami menemukan seekor burung Pipit yang terluka pada sayap kirinya. "kita harus merawatnya" kata Anggi, 

"jangan, nanti penduduk desa akan marah pada kita kalau sapai ketahuan" sahut Ande ketakutan. Di desa kami, burung pipit adalah hama paling ganas yang menyerang tumbuhan padi dan mengakibatkan kerugian besar pada para petani. Oleh karenanya penduduk desa sangat bembenci burung pipit melebihi apapun. Kemungkinan besar burung ini terluka akibat perbuatan penduduk desa.

"tidak, asal tidak ketahuan tidak apa apa" tegas Aan.
"oke, mari kita rawat burung ini. Aan kamu ambil obat merah, perban, sama kapas. Anggi kamu ambil air di sungai. Ande kamu buat sarang di pohon jambu itu, cepat".
"lah, terus kamu ngapain ga?" tanya Ande.
"ya aku sih disini nungguin kalian" sambil cengengesan tanpa merasa dosa, "ok deh aku bantuin Ande buat sarangnya".

Tepat saat matahari tenggelam dalam datarnya katulistiwa, kami pun selesai melakukan pertolongan pertama pada burung itu. Keringat menetes di pipi kami, tetapi setelah melihat ke arah Anggi aku baru sadar bahwa bukanlah keringat yang menetes dipipinya melainkan air mata. Kami semua lega akan apa yang telah kami perbuat pada sore itu.

Sejak hari itu setiap pulang sekolah kami selalu datang ke pohon jambu dimana kami merawat si Empit. Setidaknya itulah nama yang terlintas di pikiran kami untuk menamai burung pipit itu, setelah Ande mencoba memberikan nama seperti nama sayur sayuran. Kami selalu datang untuk memberinya makanan, mengganti perbannya, dan merapikan sarangnya, dan entah kenapa pada waktu itu yang kami rasakan hanyalah bahagia saat merawat si Empit.

Sebelas hari berlalu, Empit pun sudah siap untuk dilepas perbanya. Aku melihat air mata menggenang di mata Anggi saat dia mencoba membuka perban dan kemudian menetes ketika perbannya terlepas dari sayap Empit. Bulu tipis yang mulai tumbuh di sekitar bekas lukanya menandakan bahwa jerih payah kami ternyata membuahkan hasil. 

"kita berhasil!" teriak Ande. 
"aku tidak percaya telah melakukan semua ini. aku pernah bermimpi bahwa aku akan menyembuhkan banyak orang, ternyata Empitlah yang pertama ku sembuhkan" kata Aan, dengan mata yang berkaca kaca.
"aku berjanji akan menyembuhkan lebih banyak nyawa lagi mulai saat ini" kata Anggi, sambil bercucuran air mata.
"tidak, bukan hanya kamu gi, kita semua berjanji atas nama Empit yang menjadi pasien pertama kita". Aan dan Ande mengangguk, Anggi pun tersenyum, dan sekali lagi, kita berempat tertawa bersama sama.

Kegembiraan kami teralihkan saat tiba tiba Empit melesat terbang menuju angkasa. Senyum haru pun terpancar di wajah kami berempat. Kesedihan yang tadi menyelimuti Anggi berubah menjadi pancaran senyum yang begitu indah. selamat tinggal Empit, terbanglah sampai engkau menembus surga, dan sampaikan salamku kepada masa depan.
....

Aku tebangun dari tempat tidur, mengingat ingat kenangan indah di masa kecil. Kemudian terduduk melamun. Memori kejadian kejadian belakangan mulai mencampuri pikiran, memperkeruh suasana hati. Dua minggu yang lalu ibuku telah menghembuskan nafas terkahirnya, setelah sebelumnya dirawat dirumah sakit akibat kangker paru-paru ganas yang aku sendiri tidak mengerti. Sawah peninggalan ayah pun sudah di jual untuk pengobatan ibu. Kakakku yang selalu sayang kepadaku telah memiliki istri yang sedang hamil dan membutuhkan dana untuk melahirkan. Akupun terancam tidak bisa meneruskan kuliah kedokteran. Tanpa sadar aku  meneteskan air mata di pipiku. Mencoba menghapus ingantan itu, aku bergegas bangun dari tempat tidurku dan bersiap untuk berangkat sekolah.

Pagi itu menyapaku dengan pendar mentari dari cakrawala timur. Aku sengaja berangkat pagi agar bisa mengumpulkan botol bekas yang beserakan di jalan jalan kota menuju sekolah untuk dijual sepulang sekolahnya dan hasilnya buat menambah uang saku ku. Aku sadar tidak bisa mengharapkan uang kiriman dari kakak ku yang sekarang beralih profesi menjadi buruh bangunan di kota.

Sesampainya di sekolah Anggi menyapa dari kejauhan. Anggi yang mulai beranjak dewasa terlihat sangat anggun di mataku beserta senyum manisnya yang tak berubah sejak pertamakali kita bertemu. Aku, Anggi dan Aan kebetulan satu sekolah di SMA faforit berkat nilai kami yang selalu bagus. Sedangkan Ande meneruskan di SMK Pertanian untuk meneruskan pekerjaan ayahnya kelak.

Di kelas Aan tiba tiba mengagetkanku dari belakang, "ga, kamu udah siap belum kalo misal UN nya diajuin jadi besok pagi?". Aan yang mulai beranjak dewasa memiliki tubuh yang langsing dan tinggi dan memakai kacamata, membuatnya dikagumi banyak wanita. Kebetulan kami berdua juga duduk bersebelahan dan Anggi tepat di depan kita bersebelahan dengan Cynthia, anak keluarga kaya dari kota.

"Udah pasti siap dong!" jawab ku tegas.
"kalau kalian?" bertanya kepada Anggi dan Cynthia yang lagi menatap kearah Aan.
"tentu saja siap" jawab mereka.
"jika lulus nanti aku akan masuk kuliah keperawatan" kata Anggi.
"kalau aku sudah tentu masuk kebidanan, seperti ibuku" kata Cynthia.
"kalau aku sih langsung ngelanjutin ke Farmasi" kata Aan, hening sejenak, lalu melanjutkan "hey, kayaknya udah pas nih.".
"maksudnya?" tanya Anggi.
"iya udah pas. Anggi jadi kepala perawat, Cynthia jadi bidannya, aku jadi kepala petugas Apoteker, dan Ega yang jadi kepala dokternya. dan kita buat rumah sakit kita sendiri. seperti janji kita sama Empit dulu".
"oh iya, aku ingat kalian pernah cerita tentang burung yang kalian tolong saat kalian masih kecil dulu" sahut Cynthia
"ya, dan kami berjanji akan selalu menyembuhkan lebih banyak nyawa lagi. untuk itu, rumah sakit adalah tempat yang tepat" kata Aan meyakinkan.
"kamu benar an, tapi apakah aku bisa masuk fakultas kedokteran umum dengan kondisi ekonomi keluargakuku yang sekarang?" suasanya pun menjadi hening.
Anggi pun tersenyum memancarkan silau keindahan di matanya yang sipit, "tenang ga, kan masih ada jalur undangan".
"betul!" kata Aan. Akupun tersenyum, dan lagi lagi kita pun tertawa bersama sama lagi.
....

"eits, tunggu dulu. kalau kita buat rumah sakit, terus ande kemana dong?" tanya Aan. "oh iya, aku lupa soal Ande" kata Anggi. "tenang kita buat sawah di sekitar rumah sakit kita, biar Ande bisa menanam padi di sana". "haha betul kamu ga!" kata Aan. "iya, sapa tau Empit juga mengunjungi kita" kata Anggi. "haha..."
....

Terbanglah sahabat
Kepakkan sayap sayapmu
Cobalah taklukkan dunia

Terbanglah sahabat
Jangan pernah kau menyerah
Gapailah semua anganmu


Story by. Tegar P Kurniawan
inspirasi dari celotehan anak SMA menjelang UN
(Tunjung Sekarwangi, Zanuwar Setia Budi, Yan Adnan Ferindra)

immage source http://www.wallpaperswala.com/wp-content/gallery/flying-birds/flying_birds_in_cloud.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar