Mimpi..
Sebenarnya apa sih mimpi itu, seberapa hebatkah mimpi, hingga banyak orang
mengatakan bahwa "mimpi merupakan awal untuk mengubah dunia".
Namaku
Ega Saputra, anak seorang petani padi di ujung sebuah desa. Tinggal bersama ibu
dan seorang kakak kandung bernama Adam yang usianya terpaut 15 tahun dari usiaku.
Terkadang Aku lebih menganggap Adam sebagai seorang ayah dari pada kakak
sendiri. Ayahku meninggal saat usiaku masih 5 tahun karena serangan jantung.
Dan sejak saat itulah Aku selalu bermimpi dan mencita-citakan untuk menjadi
seorang dokter, sehingga tidak ada lagi orang yang dia sayangi pergi dari
hidupnya.
Aku
beruntung karena Ibu bisa menyekolahkan ku sejak dini, meski kakakku harus mengorbankan
masa depannya demi aku dan ibu. Kakak adalah lulusan SMA dan tidak berniat
untuk melanjutkan kuliah demi membantu ibuku menutupi kekurangan yang
ditinggalkan oleh ayah. ibu dan kakak bekerja mati matian memanen padi demi
sekolahku. Ibuku selalu tahu bahwa aku sangat mencita citakan untuk menjadi
seorang dokter.
Suatu
hari disekolah, Bu Anjar, guruku di TK Aisyiah bertanya kepada murid muridnya
tentang apa cita citanya.
"anak
anak.." dengan nada ceria.
"iya
bu?" serempak menjawab.
"siapa
diantara kalian yang ingin menjadi dokter..?" Sekolah yang hanya memiliki
13an murid itu tiba tiba ramai dipenuhi suara anak anak yang saling tunjuk.
Tanpa
ragu aku berdiri dan mengankat tangan, "saya bu!".
Bu
Anjar menatap ke arahku dengan kedua matanya yang sipit dibalik kacamatanya
yang tebal, kemudian tersenyum kepadaku "bagus Ega, pertahankan cita
citamu, kelak kau akan menggapainya".
Aku pun hanya tersipu. Kemudian
melihat ke sekelilingku, diujung depan berjarak dua kursi dari pintu keluar
tampak Anggi, gadis manis bermata sipit yang selalu aku kagumi sejak pertama
aku masuk TK, dan berjarak satu meja di belakangnya Aan anak berambut poni
berbadan besar yang juga ikut berdidiri dan mengangkat tangannya.
Entah
apa yang membuat kami cepat akrab, sejak saat itu kami bertiga mulai sering
bermain bersama. Kami selalu menghabisakan waktu dengan bermain dokter dokteran
dengan ranting pohon dan sendok makan yang kami bawa buat makan bekal dari
rumah. Tekadang teman kami si Ande, anak berambut ikal berbadan kurus juga ikut
menemani. Waktu itu adalah saat saat yang paling menyenakngkan dalam hidup
kami.
Sore
itu langit terlihat lebih indah dari biasanya. Kami berempat yang mulai
beranjak remaja sedang berjalan pulang menyusuri sawah di ujung desa. Tanpa
sengaja kami menemukan seekor burung Pipit yang terluka pada sayap kirinya.
"kita harus merawatnya" kata Anggi,
"jangan,
nanti penduduk desa akan marah pada kita kalau sapai ketahuan" sahut Ande
ketakutan. Di desa kami, burung pipit adalah hama paling ganas yang menyerang
tumbuhan padi dan mengakibatkan kerugian besar pada para petani. Oleh karenanya
penduduk desa sangat bembenci burung pipit melebihi apapun. Kemungkinan besar
burung ini terluka akibat perbuatan penduduk desa.
"tidak,
asal tidak ketahuan tidak apa apa" tegas Aan.
"oke,
mari kita rawat burung ini. Aan kamu ambil obat merah, perban, sama kapas.
Anggi kamu ambil air di sungai. Ande kamu buat sarang di pohon jambu itu,
cepat".
"lah,
terus kamu ngapain ga?" tanya Ande.
"ya
aku sih disini nungguin kalian" sambil cengengesan tanpa merasa dosa, "ok
deh aku bantuin Ande buat sarangnya".
Tepat
saat matahari tenggelam dalam datarnya katulistiwa, kami pun selesai melakukan
pertolongan pertama pada burung itu. Keringat menetes di pipi kami, tetapi
setelah melihat ke arah Anggi aku baru sadar bahwa bukanlah keringat yang
menetes dipipinya melainkan air mata. Kami semua lega akan apa yang telah kami
perbuat pada sore itu.
Sejak
hari itu setiap pulang sekolah kami selalu datang ke pohon jambu dimana kami
merawat si Empit. Setidaknya itulah nama yang terlintas di pikiran kami untuk
menamai burung pipit itu, setelah Ande mencoba memberikan nama seperti nama
sayur sayuran. Kami selalu datang untuk memberinya makanan, mengganti
perbannya, dan merapikan sarangnya, dan entah kenapa pada waktu itu yang kami
rasakan hanyalah bahagia saat merawat si Empit.
Sebelas
hari berlalu, Empit pun sudah siap untuk dilepas perbanya. Aku melihat air mata
menggenang di mata Anggi saat dia mencoba membuka perban dan kemudian menetes
ketika perbannya terlepas dari sayap Empit. Bulu tipis yang mulai tumbuh di
sekitar bekas lukanya menandakan bahwa jerih payah kami ternyata membuahkan
hasil.
"kita
berhasil!" teriak Ande.
"aku
tidak percaya telah melakukan semua ini. aku pernah bermimpi bahwa aku akan
menyembuhkan banyak orang, ternyata Empitlah yang pertama ku sembuhkan"
kata Aan, dengan mata yang berkaca kaca.
"aku
berjanji akan menyembuhkan lebih banyak nyawa lagi mulai saat ini" kata
Anggi, sambil bercucuran air mata.
"tidak,
bukan hanya kamu gi, kita semua berjanji atas nama Empit yang menjadi pasien
pertama kita". Aan dan Ande mengangguk, Anggi pun tersenyum, dan sekali
lagi, kita berempat tertawa bersama sama.
Kegembiraan
kami teralihkan saat tiba tiba Empit melesat terbang menuju angkasa. Senyum
haru pun terpancar di wajah kami berempat. Kesedihan yang tadi menyelimuti
Anggi berubah menjadi pancaran senyum yang begitu indah. selamat tinggal Empit,
terbanglah sampai engkau menembus surga, dan sampaikan salamku kepada masa
depan.
....
Aku
tebangun dari tempat tidur, mengingat ingat kenangan indah di masa kecil.
Kemudian terduduk melamun. Memori kejadian kejadian belakangan mulai mencampuri
pikiran, memperkeruh suasana hati. Dua minggu yang lalu ibuku telah
menghembuskan nafas terkahirnya, setelah sebelumnya dirawat dirumah sakit
akibat kangker paru-paru ganas yang aku sendiri tidak mengerti. Sawah
peninggalan ayah pun sudah di jual untuk pengobatan ibu. Kakakku yang selalu
sayang kepadaku telah memiliki istri yang sedang hamil dan membutuhkan dana
untuk melahirkan. Akupun terancam tidak bisa meneruskan kuliah kedokteran.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata di
pipiku. Mencoba menghapus ingantan itu, aku bergegas bangun dari tempat tidurku
dan bersiap untuk berangkat sekolah.
Pagi
itu menyapaku dengan pendar mentari dari cakrawala timur. Aku sengaja berangkat
pagi agar bisa mengumpulkan botol bekas yang beserakan di jalan jalan kota
menuju sekolah untuk dijual sepulang sekolahnya dan hasilnya buat menambah uang
saku ku. Aku sadar tidak bisa mengharapkan uang kiriman dari kakak ku yang
sekarang beralih profesi menjadi buruh bangunan di kota.
Sesampainya
di sekolah Anggi menyapa dari kejauhan. Anggi yang mulai beranjak dewasa
terlihat sangat anggun di mataku beserta senyum manisnya yang tak berubah sejak
pertamakali kita bertemu. Aku, Anggi dan Aan kebetulan satu sekolah di SMA
faforit berkat nilai kami yang selalu bagus. Sedangkan Ande meneruskan di SMK
Pertanian untuk meneruskan pekerjaan ayahnya kelak.
Di
kelas Aan tiba tiba mengagetkanku dari belakang, "ga, kamu udah siap belum
kalo misal UN nya diajuin jadi besok pagi?". Aan yang mulai beranjak
dewasa memiliki tubuh yang langsing dan tinggi dan memakai kacamata, membuatnya
dikagumi banyak wanita. Kebetulan kami berdua juga duduk bersebelahan dan Anggi
tepat di depan kita bersebelahan dengan Cynthia, anak keluarga kaya dari kota.
"Udah
pasti siap dong!" jawab ku tegas.
"kalau
kalian?" bertanya kepada Anggi dan Cynthia yang lagi menatap kearah Aan.
"tentu
saja siap" jawab mereka.
"jika
lulus nanti aku akan masuk kuliah keperawatan" kata Anggi.
"kalau
aku sudah tentu masuk kebidanan, seperti ibuku" kata Cynthia.
"kalau
aku sih langsung ngelanjutin ke Farmasi" kata Aan, hening sejenak, lalu
melanjutkan "hey, kayaknya udah pas nih.".
"maksudnya?"
tanya Anggi.
"iya
udah pas. Anggi jadi kepala perawat, Cynthia jadi bidannya, aku jadi kepala
petugas Apoteker, dan Ega yang jadi kepala dokternya. dan kita buat rumah sakit
kita sendiri. seperti janji kita sama Empit dulu".
"oh
iya, aku ingat kalian pernah cerita tentang burung yang kalian tolong saat
kalian masih kecil dulu" sahut Cynthia
"ya,
dan kami berjanji akan selalu menyembuhkan lebih banyak nyawa lagi. untuk itu,
rumah sakit adalah tempat yang tepat" kata Aan meyakinkan.
"kamu
benar an, tapi apakah aku bisa masuk fakultas kedokteran umum dengan kondisi
ekonomi keluargakuku yang sekarang?" suasanya pun menjadi hening.
Anggi
pun tersenyum memancarkan silau keindahan di matanya yang sipit, "tenang
ga, kan masih ada jalur undangan".
"betul!"
kata Aan. Akupun tersenyum, dan lagi lagi kita pun tertawa bersama sama lagi.
....
"eits,
tunggu dulu. kalau kita buat rumah sakit, terus ande kemana dong?" tanya
Aan. "oh iya, aku lupa soal Ande" kata Anggi. "tenang kita buat
sawah di sekitar rumah sakit kita, biar Ande bisa menanam padi di sana".
"haha betul kamu ga!" kata Aan. "iya, sapa tau Empit juga
mengunjungi kita" kata Anggi. "haha..."
....
Terbanglah sahabat
Kepakkan sayap
sayapmu
Cobalah taklukkan
dunia
Terbanglah sahabat
Jangan pernah kau
menyerah
Gapailah semua
anganmu
Story by. Tegar P Kurniawan
inspirasi dari celotehan anak SMA menjelang UN
(Tunjung Sekarwangi, Zanuwar Setia Budi, Yan Adnan Ferindra)
immage source http://www.wallpaperswala.com/wp-content/gallery/flying-birds/flying_birds_in_cloud.jpg