"bagaimana kalau suatu saat kelak kita
membangun rumah sakit kita sendiri?". Pernyataan Aan tiba tiba memecahkan
suasana.
"ha? Rumah Sakit??" Ega mencoba
mencerna kata kata Aan barusan.
"iya, suatu saat ketika aku sudah ahli di
bidang farmasi, Anggi berhasil dengan karir keperawatan nya, dan chynthia juga
telah menjadi bidan yang ahli, saat itu kita buat rumah sakit kita sendiri
dengan kamu sebagai dokternya, seperti janji kita dulu" Aan mencoba
menjelaskan.
"ohh, janji untuk burung pipit yang kalian
tolong waktu kalian masih kecil itu" tambah Chynthia.
"tapi apakah aku bisa jadi dokter dengan
kondisi ekonomi keluargaku yang sekarang?" muka Ega kembali murung.
"tenang.. kan masih ada jalur undangan dari
universitas". Pernyataan Anggi membuat suasana kembali mencair. dan mereka
kembali dengan pelajaran mereka ketika bel masuk tiba tiba berbunyi.
....
Ada kalanya ketika kedua kaki kita ini hanyalah
sampah saat mereka tak bisa digunakan untuk melangkah. Saat kita telah berusaha
tapi takdir memaksa kita untuk menyerah. Ketika itu kita mecoba terbang dengan
sayap sayap yang mulai tumbuh tapi badai dasyat tiba tiba datang dan kita hanya
mengurungkan niat.
Ega terduduk di sebuah hall yang sangat besar.
Di sekelilingnya, teman-temannya sedang ribut sendiri dengan candaan mereka
masing masing, sebagian lagi memperhatikan moderator yang sedang membacakan susunan
acara di atas mimbar. Tampak jelas kebahagiaan dari raut wajah mereka yang
sangat kontras sekali dengan raut wajah Ega yang tak menentu.
Pikiran Ega kembali melayang. Mengaburkan
suasana sekitar menjadi kabut kabut tebal, dan membawanya ketempat dimana
semuanya mulai berubah.
Pagi itu Ega menyusuri trotoar layaknya seekor
keledai yang kegirangan. Dia menyapa setiap orang yang dia kenal sambil
mengumbar senyuman. Hari itu merupakan hari istimewa bagi Ega, karena hari itu
adalah hari pertamanya mengikuti Ujian Nasional. Sebuah hari yang menurut
sebagian orang adalah momok, karena dihari itu masa depannya akan ditentukan. Tetapi
entah mengapa pada saat itu Ega sangat percaya diri dengan kemampuannya. Mungkin
karena menurutnya dia telah menguasai semua materi yang akan keluar, atau
karena dia yakin bahwa rasa percaya dirinya itu akan menjadi modalnya untuk
menghadapi Ujian Nasional.
Di ujung trotoar Ega melihat seorang kakek tua
sedang memandangi jalan sambil tersenyum. Akhir akhir ini Ega memang sering
melihat kakek itu duduk-duduk di pinggir trotoar, tapi Ega tidak pernah
mempedulikannya. Ketika Ega sedang melangkah tepat di belakangnya, tiba tiba si
kakek berkata “berhati-hatilah dengan langkahmu nak.”
Sontak, Ega pun kaget dan menghentikan langkahnya.
Dia terheran heran dengan perkataan si kakek “kakek bicara dengan saya?”
Sang kakek pun melanjutkan, “aku telah melihat
banyak sekali kejadian di jalanan. Ada beberapa alasan mengapa mobil-mobil itu
tiba-tiba berhenti di jalan. Pertama karena lampu merah itu” si kakek menunjuk traffic light di persimpangan jalan, “Kedua
karena mogok atau kehabisan bahan bakar, dan yang terahir karena menabrak
seseorang” sang kakek pun terkekeh-kekeh sambil terus memandangi jalanan.
Ega kemudian berlalu tanpa menghiraukan si kakek
dan melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Dia hanya berfikir mungkin kakek tadi orang gila.
....
Bel sekolah akhirnya berbunyi nyaring, tanda
ujian telah selesai. Hari ini adalah hari terahir Ujian Nasional, hari dimana
banyak diwarnai berbagai macam curahan perasaan. Di ujung lorong banyak siswi
yang menangis, sedangkan di sisi lain anak anak yang ikut bimbingan belajar
merasa tenang-tenang saja, seolah mereka baru menyelesaikan soal yang begitu
mudah.
Ega hanya tertunduk lesu menelusuri trotoar
menuju ke rumah. Kepercayaan dirinya kian hari kian berkurang. Entah kenapa
soal Ujian Nasional tahun ini sangat sulit, berbeda sekali dengan soal soal
tahun sebelumnya.
Di suatu toko, Ega tak sengaja melihat siaran di
televisi. Dia menyaksikan Menteri Pendidikan yang sedang di wawancarai perihal
Ujian Nasional tahun ini yang ternyata melenceng dari standar materi yang
disiapkan oleh setiap sekolah. Sang Menteri pun dengan santai mengatakan “sebenarnya
ujian tahun ini adalah ujian bertaraf internasional, saya kira bagi siapa saja
yang belajar dengan giat bisa menyelesaikannya dengan mudah.”
Ega pun tercengang mendengar pernyataan dari
bapak menteri. Ingin rasanya dia menghampiri bapak Menteri dan memaki maki di
depanya. Tapi dia hanya mengurungkan niat dan pasrah akan apa yang telah dia
usahakan.
Sebulan kemudian saat pengumuman kelulusan,
semua siswa berteriak mengekspresikan kegembiraan mereka. Pada hari itu tak ada
yang tak merasa bahagia karena kelulusan mereka semua. Tetapi entah kenapa Ega
hanya terduduk lemas memandangi nilai Ujian Nasionalnya yang baginya dirasa
kurang memuaskan. Sedangkan teman sekelas yang menurutnya biasa biasa saja, entah
kenapa nilainya bisa bagus. Dan menurut kabar angin, mereka yang mampu membeli
soal dari salah seorang oknum lah yang mendapat nilai bagus. Entah benar apa
tidak Ega hanya pasrah menerimanya.
Hal ini berlanjut pada seminggu kemudian, saat
pengumuman jalur undangan dan beasiswa BIDIKMISI. Tenggorokannya tercekat
seketika tak bisa bernafas ketika melihat namanya tak lolos jalur undangan.
....
Berbagai emosi sekaligus penyesalan mengiringi
langkahnya pulang. Menurutnya dunia ini hanya tak adil kepadanya. Hanya mereka
yang memiliki uang lah yang bisa berkuasa di dunia ini. Terkadang Ega iri
kepada burung burung yang selalu bisa terbang bebas di angkasa tanpa adanya
beban sama sekali.
Di ujung trotoar seperti biasa Ega melewati
kakek gila yang selalu tersenyum memandangi jalanan. Setelah sekian lama kali
ini si kakek gila itu membuka mulutnya dan kembali berceloteh, “akhir akhir ini
aku menemukan cara agar tidak tertabrak mobil yang lewat” si kakek berhenti
sejenak lalu melanjutkan tanpa memalingkan tatapan kepada Ega, “mobil mobil itu
tidak akan menabrak benda yang berada diatasnya. Mengapa kau tidak coba
tumbuhkan sayapmu dan tebang diatas mobil mobil itu?”
Ega berkata dalam benaknya benar-benar gila nih kakek, Entah kenapa Ega mulai tidak suka
dengan celotahan si kakek gila itu. Lagi-lagi Ega pun tidak memedulikannya dan
berlalu begitu saja.
Sesampainya di rumah, Ega bertemu dengan Adam,
kakaknya, “udah pulang kerja kak?”
“iya ga, tadi kerjaan kakak udah kelar” kata
Adam sambil mengaduk minuman dicangkirnya “oh iya, gimana pengumumannya?"
Ega pun bingung akan menjawab apa. Dengan
terpaksa dia mengungkapkan yang sejujurnya “tidak lolos kak”
Suasana rumah pun menjadi hening. Tidak lama
kemudian Eva istri Adam muncul dari dapur menggendong Nana anak mereka yang
masih bayi yang juga keponakan Ega, “sabar ga, kamu anak yang pintar. mungkin
itu belum rejekinya kamu”
Ega
hanya tersenyum sekilas sebelum akhirnya dia menuju ke kamarnya.
....
Malam harinya Ega merasa gelisah. Dia masih tak
percaya dengan apa yang terjadi akhir akhir ini. Dunianya yang telah membuatnya
kuat, kini telah runtuh oleh serangan takdir yang bertubi tubi. Tak ada harapan lagi untukku. Apa aku harus
menyerah? Tidak, ini duniaku. Ini
masa depan ku. Siapa lagi yang akan menentukan kalau bukan aku, Ega mencoba
menenangkan diri. Aku harus ikut SBMPTN
kalau perlu Ujian Mandiri. ya aku harus.
Ega pun memberanikan diri berbicara dengan Adam
perihal niatnya mengikuti SBMPTN. “aku tau ga kamu sangat ingin masuk
kedokteran, tapi kan kamu juga tahu gaji kakak gak seberapa” jelas Adam.
“kakak kan punya tabungan yang dulu mau kakak
gunakan buat memberangkatkan ibu ke mekah” protes Ega.
“iya, tapi sekarang itu untuk kebutuhan kita
sehari hari. lagian kamu kan masih bisa pilih prodi lain selain kedokteran.
kamu tahu sendiri kuliah di kedokteran tuh gak murah ga” Adam mencoba
meyakinkan Ega.
“kalau soal uang, nanti Ega ganti kalau udah
sukses kak. sekarang tugas kakak cuma ngebiayain kuliah ega kan?” Keegoisan Ega
mulai muncul.
“memangnya kamu tidak butuh makan, beli baju,
sama kebutuhan lain..” Adam masih mencoba meyakinkan Ega ketika pembicaraannya
dipotong.
“kalau soal makan dan baju, Ega bisa cari
sendiri kak!”.
“kamu juga gak inget apa kalau aku juga punya
istri dan anak yang masih kecil, jangan egois gitu dong jadi anak!” bentak Adam
mulai terpancing emosi.
“kakak ini tidak seperti ibu. kalau saja ibu
masih ada, pasti dia akan berusaha sekuat tenaga supaya aku bisa masuk
kedokteran!”
“jaga mulutmu!!” Adam bersiap memukul Ega.
“Apa?! pukul kak. pukul aku!!”
“sstt, sudah sudah!” tiba tiba Eva muncul dari
kamarnya sambil menggendong Nana yang sedang menangis, “lihat nih Nana jadi
menangis gara gara kalian” sambil menepuk-nepuk punggung putrinya agar berhenti
menangis.
Ega terkejut melihat Eva, kemudian memandangi
Adam dengan tatapan tajam sebelum akhirnya pergi dari rumah tanpa sepatah kata
pun.
....
Malam itu hujan turun cukup deras. Ega memilih
berteduh di sebuah halte bus di pinggir trotoar. Emosinya yang masih meluap
luap membuat pikirannya kembali keruh. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa
yang telah terjadi, mengingat dia sebelumnya belum pernah bertengkar bergitu
hebat dengan kakak kandung yang paling dia sayangi itu.
“seperti biasa, kau selalu saja manghindari
mobil mobil itu”
Ega sontak terkejut mendengar suara yang tiba
tiba muncul. Dia mencari cari darimana asal suara itu sampai akhirnya dia
mendapati seseorang yang dikenalnya sebagai si kakek gila sedang duduk
disampingnya.
“kenapa kau tak menuruti kata kata ku, mengapa
kau tidak mencoba terbang? apakah karena takut akan hujan?”, kata si kakek
sambil terus memandangi jalanan tanpa mengalihkan pandangan ke arah Ega.
“kakek ini ngomong apa sih. kenapa kakek disini?”,
Ega mulai kesal pada si kakek.
“kau masih muda nak, banyak yang harus kau
pelajari” sahut si kakek.
“aku telah banyak belajar di sekolah, tapi apa
yang ku dapatkan sekarang? hanya kegagalan yang selalu kudapat! dan kau masih
menyuruhku untuk belajar?!” protes Ega.
“ini bukan soal ilmu pasti yang kau dapatkan dari sekolah, tapi
ini soal kehidupan”. Ega hanya terdiam, malas berdebat dengan si kakek. “mobil
dan para pejalan kaki itu memiliki jalan mereka masing masing” sang kakek
menunjuk ke arah pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan. “Saat seorang
pejalan kaki ingin ke seberang, dia harus menyebrangi mobil mobil itu” dengan
semangat sang kakek menjelaskan. “Ada dua pilihan untuk si pejalan kaki agar
sampai ke seberang, yaitu mencari tempat penyebrangan atau menghindari mobil
mobil yang lewat".
“maksud kakek?” Ega mulai penasaran.
“mobil yang berlalu lalang itu diibaratkan
sebuah masalah yang tak pernah kita ketahui kapan berakhirnya. Sangat tidak
mungkin menunggu masalah masalah itu habis. Yang bisa kita lakukan adalah
menghindarinya atau mencari jalan keluarnya”.
“terus kenapa aku harus terbang?” tanya Ega.
“dengan terbang bukanya lebih mudah untuk
menemukan jalan keluar”, kata si kakek tertawa geli, “belajar terbang
artinya kita mempelajari masalah tersebut. Saat kita telah menguasainya,
otomatis level kita berada satu
tinggkat diatasnya. Jika suatu saat mobil mobil itu lewat lagi, kita tinggal
terbang diatasnya”.
“terus bagaimana dengan hujan yang tadi kakek
bilang?”.
Sang kakek menoleh ke arah Ega sambil tersenyum,
“kalau kau sudah belajar banyak, pasti kau akan mengetahui bahwa hujan tidak
akan turun di atas awan”.
Ega sangat terkejut dengan tatapan hangat si
kakek. Kemudian dia mencoba bertanya lagi, “tapi, bukankah jika kita bisa
terbang sampai di atas awan kita malah akan terkena panasnya terik matahari ya
kek?”.
“sebenarnya terbang melampaui matahari
sekalipun, kita akan mendapati diri kita kehabisan nafas. Masalah akan terus
ada ketika kita masih hidup didunia, tapi apakah kita hanya menyerah pada
takdir? mengapa kita tidak menghadapinya dengan pikiran positif, mencoba
mempelajari setiap masalah yang ada, dan menaikan level kita satu tingkat diatasnya?” sang kakek menghela nafas “dan
bukankah akan lebih mengasyikan jika kita telah berada di atas matahari,
kemudian sesekali kembali ke daratan dan menceritakan apa yang terjadi di atas
sana kepada setiap orang?” sekali lagi kakek itu tersenyum kepada Ega.
Ega pun ikut tersenyum “terima kasih kek, mulai
saat ini aku akan mencoba belajar terbang melewati mobil mobil itu”.
Malam makin larut saat hujan kembali reda. Si
kakek misterius itu pun terlelap. Ega mau tak mau juga tidur di halte bersama
si kakek.
....
Pagi itu Ega dibangunkan oleh suara bising
kendaraan yang mulai memadati jalan. Matahari baru saja menampakkan dirinya
dari cakrawala timur saat Ega mencoba mengenali sekitar. Kepalanya terasa
pusing, mungkin karena tidur tanpa memakai bantal. Dia mencoba mengingat apa
yang telah terjadi, hingga akhirnya dia ingat pada si kakek misterius. Dia
menoleh kearah tempat si kakek tidur semalam, ternyata sudah tidak ada.
Akhirnya dia memutuskan untuk pulang kerumah dan mencoba meminta maaf kepada
kakaknya.
Dalam perjalanannya pulang, Ega melihat si kakek
misterius mondar mandir di tepi jalan. Tanpa ragu Ega kemudian memanggilnya, tapi
si kakek tidak mendengar suaranya. Si kakek berhenti sejenak berdiri mengamati
jalanan, kemudian dia berjalan ke tengah jalan. Dari arah kanan, datang sebuah truck berkecepatan tinggi menabrak sang
kakek. Ega yang menyaksikan langsung kejadian itu sontak berlari menghampiri si
kakek yang sudah berlumuran darah. Ega pun tak kuasa menahan emosi yang
berkecamuk didalam dirinya ketika mengingat sang kakek nampak tersenyum
kearahnya sesaat sebelum kecelakaan itu menimpanya. Tak lama kemudian mobil
Ambulan datang. Ega pun turut menyertai sang kakek ke rumah sakit.
Di ruang tunggu ICU, Ega memikirkan berbagai
macam ingatan dan memori tentang si kakek, tentang bagaimana pertama kali
mereka bertemu, kebiasaan si kakek yang selalu memandangi jalanan, hingga pesan
terahir sang kakek.
Lamunan Ega kemudian pecah ketika dia melihat
kakaknya, Adam bersama istri dan putrinya yang masih bayi datang
menghampirinya. Ega pun menyambut kakanya dengan pelukan haru.
“kamu gak kenapa-kenapa kan ga?” tanya Adam
“gak kenapa-kenapa kok kak.”
Ekspresi Ega kembali menegang ketika dokter
keluar dari ruang ICU. “kami butuh darah AB rhesus negatif segera!”
“saya pak, saya AB rhesus negatif.” Ega langsung
mengajukan diri.
“oke, saya tunggu di dalam.” sang dokter kembali
masuk ke dalam ruang ICU.
Sebelum sempat Ega melangkah ke dalam, Adam
meraih ke lengan adiknya “Apa kamu tidak apa apa? kamu kan belum makan dari
kemarin?” tampak kekhawatiran dalam raut wajah Adam.
“gak apa-apa kak, Ega masih kuat kok.” Dia pun
menuju ke dalam menyusul sang dokter.
....
Tiga hari setelah kejadian itu, tiba tiba ada
yang mengetuk pintu rumah Ega. Dia yang sedang dirumah sendiri membukakan
pintu. Nampaklah seorang bapak berbadan tegap dan tinggi dengan sedikit kumis
diatas bibirnya. Dia memakai kemeja warna hijau toska dan berdiri di depan
pintu.
“Terimakasih telah menyelamatkan nyawa ayah saya,”
kata bapak tersebut sambil menjabat tangan Ega.
Ega terheran-heran dengan orang asing itu, “Bapak
ini siapa?”
“oh iya, perkenalkan nama saya dokter Michel
Wijoyo, seorang dokter sekaligus rektor salah satu perguruan tinggi swasta
terbaik di Jakarta.”
....
“Ananda Ega Saputra dipersilahkan memberikan
sambutan mewakili para siswa.”
Seketika Ega kembali dari lamunannya ketika
mendengar tepuk tangan dari teman temannya, “ha? ada apa ini?”
“kamu habis ngelamun ya? pasti ngelamunin yang
jorok-jorok. di suruh sambutan tuh,” ejek Aan yang duduk di sebelahnya.
"hah? serius nih?"
"udah, cepetan sana", Aan langsung
mendorng Ega menuju mimbar.
Ega berdiri di atas mimbar, memandangi teman
teman serta guru dan para orangtua siswa. “assalamua'aikum...” dengan suara
bergetar, dia tidak tahu akan memberi sambutan seperti apa. “puji syukur
kehadirat Allah subhanahu wata'ala, yang telah menurunkan rahmat yang melimpah
bagi saya dan para hadirin sekalian. Berkat Dia-lah saya bisa berdiri disini
dengan almamater kebanggaan kita semua ini. Dia juga lah yang selalu menuntun
kita saat kita dalam kegelapan, terjerat hawa nafsu dan emosi, dan ketika kita
tidak tahu lagi harus melangkah,” Ega menghela nafas. ”untuk guru-guru kami
tercinta, terimakasih atas ilmu berharga yang setiap hari engkau berikan.
Engkau rela menempuh jarak menembus badai dan halilintar demi membawakan secuil
oleh-oleh manis yang tak pernah kau tahu bahwa itu sangat berarti besar bagi
kami. Kini sayap sayap kami semua telah tumbuh. Untuk itu lepaslah kami,
lepaslah kami ke angkasa nun luas agar kami kelak akan menaklukkan dunia,” Ega
kembali mencoba menyusun kata kata. “tak lupa untuk teman-temanku sekalian.
Terimakasih karena telah memberikan warna warna pada kanvas kehidupan ini, yang
akan ku letakkan pada sebuah musium abadi hingga suatu saat ajal menghampiri.
Jika suatu saat nanti kita berjumpa, akan kuperlihatkan bahwa kalianlah yang
selalu mendatangkan pelangi ketika hujan mulai lelah berjatuhan.” kepercayaan
dirinya mulai muncul, “satu pesan dari orang yang selalu menjadi inspirasi bagi
saya, ‘Meskipun kita telah terbang hingga menembus langit, janganlah enggan
untuk kembali turun ke daratan, dan ceritakan apa yang telah kau lihat di atas
sana’.”
Tepuk tangan para hadirin membuatnya bangga
terhadap dirinya sendiri. Di ujung bangku tempat para orang tua, Ega melihat
Adam tersenyum haru melihat kearahnya sambil bertepuk tangan. Tanpa sadar Ega
pun meneteskan air matanya. Belum pernah dia sebahagia ini dalam hidupnya.
....
Acara perpisahan pun selesai. Ega keluar dari
hall untuk menikmati udara sejuk. Dunia
akan berubah mulai hari ini, pikirnya. Ega merasa dirinya sudah mulai
dewasa, dan banyak pelajaran yang telah dia dapatkan. Ketidak-adilan hidup ini
telah membuatnya sadar bahwa masih ada Tuhan yang selalu menjamin segala urusan
hidupnya. Ega teringat sebuah kutipan novel yang pernah ia pinjam dari
perpustakaan, “jika ada sebuah masalah besar, kita harus bilang kepada si
masalah besar ‘hai masalah besar, aku punya tuhan yang lebih besar’.”
Apa yang akan terjadi pada masa depannya
ditentukan oleh dirinya sendiri. Ya,
kalau bukan diri kita terus siapa lagi?
“kamu beneran mau kuliah di jakarta ga?” suara
Anggi tiba tiba mengagetkan Ega.
Ega mengangguk sambil tersenyum.
“ciee yang dapet beasiswa di Jakarta,” sindir
Aan, membuat Ega jengkel.
“apaan sih lo.”
“ciee pisah-pisah dong kita,” kata Cynthia ikut
nimbrung. “tapi gak apa-apa, yang penting cita-cita kita semua tercapai. Janji
ya??”
“ok, aku akan berusaha keras!” Ega kembali
bersemngat.
“sok-sokan
lo.” kata Aan sambil memukul kepala Ega.
Hari kembali berlanjut dibawah mentari yang
masih sama. Ega melihat burung Pipit yang tadi berada di atas pintu gerbang
kembali terbang menuju angkasa. Ega tersenyum melihatnya. Betapa Ega iri
terhadap mereka yang bisa terbang bebas diatas segala masalah yang berada
dibawah sini. Tuhan, berilah aku
kekuaatan untuk menumbuhkan sayap-sayapku agar aku bisa terbang bebas meperti
mereka.
~~(fin)~~
Note: Saya pribadi turut berduka cita atas musibah yang menimpa saudara kita di Gaza, palestine. Pas liat berita di tipi, ane berasa liat the raid: berandal, mayat dimana mana. Tega banget ya israel ckck. oiya, saya segenap jiwa dan raga juga mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa 1435 Hijriyah. Juga selamat deg degan aja buat temen temen yang nunggu pengumuman SBMPTN, moga aja bisa menginspirasi. Dan makasih lho udah baca sampai akhir (atau cuma baca akhirnya tok?)
immage source: http://bintangberkisah.files.wordpress.com/2012/09/animasi-burung-bird-animation-211.gif